Apa itu Darurat Sipil?


Jakarta - Pemerintah memilih menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB untuk mencegah penyebaran virus corona atau COVID-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa saat ini darurat sipil tidak akan diterapkan.
Menurut Presiden, darurat sipil disiapkan jika terjadi keadaan yang abnormal. "Darurat sipil itu kita siapkan apabila memang terjadi keadaan yang abnormal. Sehingga perangkat itu juga harus disiapkan dan kita sampaikan. Tapi kalau keadaannya seperti sekarang ini tentu saja tidak," ujar Jokowi dalam konferensi pers yang disiarkan saluran YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (31/3/2020).

Baca juga:
Jokowi: Darurat Sipil Disiapkan Bila Kondisi Abnormal

Darurat sipil adalah status penanganan masalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 16 Desember 1959 ini.

Pasal 1

(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat. Dalam keadaan darurat sipil, presiden dibantu suatu badan yang terdiri atas:

1. Menteri Pertama;
2. Menteri Keamanan/Pertahanan;
3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
4. Menteri Luar Negeri;
5. Kepala Staf Angkatan Darat;
6. Kepala Staf Angkatan Laut;
7. Kepala Staf Angkatan Udara;
8. Kepala Kepolisian Negara.

Namun presiden dapat mengangkat pejabat lain jika diperlukan. Presiden juga bisa menentukan susunan yang berlainan dengan yang tertera di atas bila dinilai perlu.

Di level daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dipegang oleh kepala daerah serendah-rendahnya adalah kepala daerah tingkat II (bupati/wali kota). Kepala daerah tersebut dibantu oleh komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan, kepala polisi dari daerah yang bersangkutan, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan daerah yang bersangkutan.

Terkait darurat sipil dan risikonya, ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono, ahli perundang-undangan mengatakan, "Hak-hak istimewa yang diberikan kepada penguasa darurat sipil baik di pusat maupun daerah sebagaimana diatur di Perppu 23/1959 justru rentan menghalangi peran serta dan gotong royong warga masyarakat dalam menghadapi wabah COVID-19 yang selama ini terbukti gerakan sosial warga melalui media sosial tersebut efektif membantu pemerintah," ujar Bayu.

Selain itu, Bayu juga menambahkan, "Jika penetapan darurat sipil ini dimaksudkan dalam rangka memastikan ketaatan warga negara terhadap kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau Karantina Wilayah dengan cara penerapan sanksi pidana bagi yang melanggar kebijakan tersebut, maka ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam Perppu 23/1959 ini justru tidak terlalu memberikan efek gentar dibandingkan sanksi pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan,"ujar Bayu.

Baca juga:
Penjelasan soal Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Ditetapkan Jokowi
(lus/erd)

Sumber